Senin, 29 Oktober 2012

Etika Bisnis dalam Perbankan


Persaingan kerap melahirkan pelanggaran etika bisnis. Padahal, etika bisnis harus menjadi way of life, bukan sekadar way of thinking. Bank yang peduli terhadap lingkungan pasti memberikan value yang lebih positif dibandingkan dengan yang tidak peduli. 

Sebuah bisnis apabila dijalankan dengan etika bisnis yang baik akan memberikan kebaikan kepada pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya. Begitu kata Thales, seorang filsuf pertama dalam sejarah intelektual Barat yang hidup pada abad 620 SM-540 SM.
Bukan rahasia lagi bahwa integritas dan kejujuran akan membuahkan sebuah kepercayaan. Dengan kepercayaan bisnis bisa berjalan secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Namun, dalam praktiknya, masalah kepercayaan bagaikan dua sisi mata uang yang berkaitan dengan sebuah pilihan antara mempraktikkannya atau sebaliknya. Dari sudut pandang lain sering makna kepercayaan diartikan sebagai upaya menjaga kerahasiaan.

Dalam konteks menjaga kepercayaan ada kalanya diterjemahkan secara negatif, misalnya ketika mendapatkan sesuatu karena memberikan bisnis justru  dikategorikan sebagai kepercayaan. Kadang menjadi diabaikan, sekalipun praktik tersebut berseberangan dengan etika termasuk di dalamnya kejujuran dan integritas.
Hal tersebut terjadi karena adanya pembenaran yang sejatinya tidak benar. Dalam praktis bisnis berlaku jargon bahwa kalau kita tidak mengikuti “permainan bisnis” yang berlaku, maka sangat kecil untuk mendapatkan bisnis.
Sekadar ilustrasi, sering dijumpai bahwa dalam “permainan” bisnis sulit diartikan secara benar makna beterima kasih. Bermula dari sekadar memberikan cendera mata sampai akhirnya bicara soal berapa besar bagian saya kalau bisnis itu didapatkan. Ironisnya banyak kasus yang paling besar “memberikan” adalah yang mendapatkan bisnis.

Fenomena itu akhirnya dianggap lazim sehingga jarang sekali dikatakan bahwa hal tersebut termasuk melanggar etika bisnis. Sepanjang tidak ketahuan dan diproses secara hukum, maka proyek tahu sama tahu jarang dikaitkan dengan pelanggaran etika bisnis.
Hal lain yang juga lazim terjadi dalam bisnis adalah perlunya banyak teman untuk memudahkan pendekatan melalui hubungan informal, yaitu melalui lobi. Lobi tidak haram dan dilarang karena itu merupakan bagian dari implementasi strategi  pemasaran. Karena kemasannya adalah pemasaran, aktivitas lobi menjadi sebuah “profesi” yang tentunya memerlukan imbalan.
Dengan alasan seperti itu, maka biaya lobi dan/atau tanda terima kasih dalam bentuk apa pun menjadi legal dan sah, baik secara akuntansi maupun secara prosedur. Tidak ada yang dilanggar karena memang dianggarkan. Tidak ada yang salah karena secara peraturan keberadaan biaya pemasaran diakui secara formal.
Dengan memerhatikan praktik yang terjadi dalam bisnis keseharian, maka pertanyaan yang menggelitik bukan bagaimana etika bisnis dipahami dan dipraktikkan, melainkan lebih pada dalam konteks apa etika bisnis akan memperoleh tempat yang terhormat sehingga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Dalam bentuk pertanyaan lain, persyaratan apa saja yang diperlukan agar etika bisnis selalu dapat dilaksanakan secara konsisten dengan komitmen yang tinggi.

Praktik di  Perbankan
Bisnis perbankan sering diartikan sebagai bisnis kepercayaan atas dasar kepercayaan. Pemikiran ini berasal dari logika dan konsekuensi fungsi bank sebagai lembaga intermediasi. Secarta akademis, sering diartikan bahwa bank mengelola dana yang berasal dari surplus unit dan diproduktifkan dananya pada deficit unit. Dari sisi aktiva bank menggunakan dana pihak lain untuk dipinjamkan, sedangkan dari sisi pasiva bank menerima uang dari pihak lain.
Dengan peran seperti itu, jelas bahwa kepercayaan adalah segala-galanya. Karena kepercayan merupakan salah satu pembentuk etika, maka etika bisnis harus dan mutlak mendapatkan tempat utama sekaligus terhormat dalam mengelola bisnis perbankan.
Namun, seperti juga dunia bisnis lainnya, lingkungan bisnis perbankan tidak steril dari gangguan yang dikaitkan dengan pelaksanaan etika bisnis. Gangguan  implementasi etika bisnis tersebut dapat terjadi baik di kalangan internal bank maupun eksternal karena hasil interaksi antarkedua belah pihak.
Dari berbagai kasus yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran etika bisnis pada umumnya adalah dalam bidang kredit. Kasus mark up kredit, kredit fiktif, dan penyalahgunaan kredit dan sejenisnya dapat dikatagorikan sebagai bagian dari pelanggaran etika bisnis. Dari sisi dana bisa berupa penyalahgunaan pengelolaan dana. Contoh lain masalah fraud di bidang operasional dan pengelolaan pengeluaran biaya.

Fenomena tersebut terjadi tentunya disebabkan oleh hal yang sama. Untuk kasus perbankan nasional, maka hasil akhirnya dapat dikatakan sebagai karya fenomenal dalam sepanjang sejarah perbankan nasional ketika kita mengalami krisis keuangan dan perbankan pada 1999.
Hanya, sekadar untuk menyehatkan kembali sektor perbankan nasional, diperlukan biaya rekapitalisasi yang mencapai lebih kurang Rp450 triliun atau setara dengan lebih kurang 58% dari gross domestic product (GDP) Indonesia pada waktu itu. Biaya tersebut  merupakan biaya krisis tertinggi di seluruh negara yang mengalami krisis.
Berbagai studi mengenai krisis perbankan banyak dilakukan. Namun, ada kesimpulan umum yang mengatakan bahwa prinsip kehati-hatian mengelola perbankan (prudential banking) banyak diabaikan oleh “oknum bankir”, apakah pengurus dan/atau pemilik, sehingga kualitas kreditnya jelek. Karena menyangkut “oknum” dan merupakan unsur manusianya, patut diduga bahwa masalah etika bisnis juga diabaikan. Hasil akhirnya adalah betapa mahalnya biaya rekapitalisasi perbankan nasional hanya karena diabaikannya etika bisnis.
Belajar dari krisis, perbankan nasional memasuki suasana baru dalam pengelolaan perbankan nasional, baik karena arus reformasi maupun karena andil Bank Dunia dan IMF. Khusus sektor perbankan diawali dengan rekapitalisasi sehingga tata kelola bisnis perbankan perlu berubah dan diubah.

Perubahan yang dilakukan mulai dari sisi perundangan, peraturan, sampai dengan tata kelola perusahaan. Masalah tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG), kepatuhan, dan manajemen risiko adalah tiga pilar utama yang wajib dilaksanakan pemangku jabatan di perbankan nasional.
Namun, 10 tahun restrukturisasi dan reformasi ternyata masih tidak mampu juga mengurangi pelanggaran etika bisnis. Sekalipun Bank Indonesia (BI) selaku regulator sangat agresif melakukan reformasi dalam peraturan itu masih belum bisa menyembuhkan secara total godaan untuk tidak melaksanakan etika bisnis dengan baik di kalangan internal dan/atau eksternal perbankan.
Berbagai regulasi dari BI seperti pelaksanaan prudential banking sudah sangat ketat. Begitu pula penerapan tiga pilar (GCG, kepatuhan, dan manajemen risiko) makin hari makin disempurnakan dan terus-menerus disesuaikan. Rasa-rasanya hanya sektor perbankan yang padat regulasi dan bahkan ada kecenderungan sangat ketat.
Sekalipun sudah diatur sedemikian ketatnya, masih saja bermunculan berbagai kasus. Kendati demikian, ketidakseriusan sekelompok pelaku bisnis terhadap penegakan etika bisnis tidak serta-merta secara sah kita simpulkan bahwa etika bisnis sudah banyak diabaikan.
Secara statistik dapat dikatakan bahwa masih lebih banyak pihak (baca: bankir profesional) yang melaksanalan etika bisnis secara konsisten dan berhasil. Harus diakui, tantangannya memang lebih berat karena pengaruh lingkungan bisnis, sosial, dan politik masih tetap berlangsung dan bahkan ada yang mengatakan jauh lebih buruk dibandingkan dengan sebelum masa reformasi.


Andil Etika Bisnis
Kesadaran menjaga dan mempraktikkan etika bisnis secara baik sangat pasti bermanfaat bagi kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang. Tidak usah diragukan lagi. Dengan etika bisnis, perusahaan selalu berpikiran untuk terus melakukan pengembangan bisnis.
Pengembangan bisnis yang berkelanjutan memungkinkan perusahaan mempunyai sumber dana dan manusia yang memadai, baik untuk pengembangan bisnis maupun lingkungan dalam arti luas. Perusahaan pada akhirnya akan sadar bahwa kemajuan bisnisnya juga harus memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholder) dalam arti luas.

Dalam kaitan tersebut, kewajiban perusahaan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan istilah corporate social responsibility (CSR) dapat menjadi kepanjangan tangan perusahaan dalam hal kepedulian. Bentuk kepedulian apa yang dapat dilakukan oleh kalangan perbankan nasional tentunya banyak. Hanya saja dalam konteks pertumbuhan yang berkesinambungan, kepedulian terhadap daya sumber alam yang dapat diperbarui harus diprioritaskan. Sebab, sumber daya alam seperti itulah yang memungkinkan bisnis terus ada dan berkembang.

Peduli lingkungan, misalnya, jelas merupakan bagian dari rancang bangun kontinuitas bisnis. Kalau sebuah pabrik yang dibiayai oleh kredit bank peduli kepada lingkungan sangat pasti akan memberikan nilai (value) lebih secara positif dibandingkan dengan yang tidak peduli. Bahkan, mulai banyak kalangan perbankan nasional dalam kebijakan pembiayaan kreditnya selalu dikaitkan dengan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Sebagai misal analisis dampak lingkungan banyak menjadi persyaratan kredit di bank.

Berdasarkan pengalaman pribadi yang menekuni profesi menjadi bankir—yang mungkin belum valid—sebenarnya etika bisnis harus menjadi way of life, bukannya hanya sekadar way of thinking. Yang diperlukan bukan ikon-ikon atau jargonnya, melainkan bagaimana mempraktikkannya. Karena dipraktikkan terus-menerus, diharapkan akan menjadi way of life sehingga tanpa diawasi ataupun diatur, baik secara formal maupun informal, akan tetap berjalan terus. Kalau etika bisnis diposisikan sebagai way of life, sebenarnya secara mudah dapat disimpulkan bahwa etika bisnis itu tidak lain adalah soal niat baik saja.

Gangguan niat baik dan berbuat baik pada umumnya karena adanya kreativitas dalam rangka persaingan. Semua pihak bersaing sehingga tanpa sadar dan/atau secara sadar melakukan pelanggaran terhadap etika bisnis. Mengapa masih sulit menghindari gangguan karena pebisnis pada hakikatnya mempunyai naluri untuk terus berkembang secara cepat dan mudah.
Jadi, menurut peneliti: tetap saja faktor utamanya kembali pada persoalan niat berbisnis dan/atau bekerja dalam menjalankan bisnis. Maaf, seperti kata Demokritos bahwa pelaku bisnis cenderung serakah dan tidak menghormati lingkungannya.

Sumber: http://www.infobanknews.com/2011/12/way-of-life-dalam-bisnis-perbankan/

1 komentar:

  1. Apakah Anda mengalami kesulitan keuangan atau Anda ingin memenuhi impian Anda dengan dana?
    Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk melunasi tagihan Anda, Memulai atau mengembangkan bisnis Anda?
    Apakah Anda mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman dari Pemberi Pinjaman atau Bank karena tingginya biaya / persyaratan pinjaman?
    Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk alasan yang sah?
    Kemudian khawatir kami datang untuk menawarkan pinjaman kepada pelamar yang tertarik baik lokal maupun luar negeri tidak peduli jenis kelamin atau lokasi tetapi usia harus 18 tahun ke atas.
    Kembali kepada kami untuk negosiasi tentang jumlah yang Anda butuhkan akan menjadi keputusan yang bijaksana.
    JENIS PINJAMAN KAMI
    Pinjaman ini dibuat untuk membantu klien kami secara finansial, dengan tujuan mengurangi beban finansial. Untuk alasan apa pun, pelanggan dapat menemukan rencana pinjaman yang sesuai dari perusahaan kami yang memenuhi persyaratan keuangan.

    Data pelamar:
    1) Nama Lengkap:
    2) Negara
    3) Alamat:
    4) Jenis Kelamin:
    5) Pekerjaan:
    6) Nomor telepon:
    7) Posisi saat ini di tempat kerja:
    8 Pendapatan bulanan:
    9) Jumlah pinjaman yang dibutuhkan:
    10) Jangka waktu pinjaman:
    11) Apakah Anda pernah melamar sebelumnya:
    12) Tanggal Lahir:
    Hubungi perusahaan pinjaman Gloria S melalui email:
    {gloriasloancompany@gmail.com} atau
    Nomor WhatsApp: +1 (815) 427-9002
    Nomor Perwakilan Indonesia: +6288286919466
    Salam Hormat

    BalasHapus